Rabu, 04 Maret 2015

Why Laura?

Wayne duduk terdiam di pinggir jalan gang kecil kota London di malam hari yang sunyi. Headset terpasang di telinganya. Gregory Porter menyanyikan lagu "Water Under Bridges" dengan volume full dari mp3 player yang ada di kantongnya. Air mata menghiasi pipi Wayne. Air mata, dari hangat sampai hampir membeku di udara dingin kota London.

Tiap lirik yang terlantun di telinga Wayne makin memaksa ingatan Wayne untuk memutar kembali kenagan-kenangan ketika Laura ada di sisinya. Canda tawa yang mereka lewati bersama, tangis sedih yang mereka bagi, kopi pahit yang selalu terasa manis di pagi hari, hingga pelukan erat saat sebelum mereka berpisah. Semua itu terasa begitu indah namun juga begitu menyakitkan. Menyakitkan, karena ia masih tidak menerima fakta ia telah berpisah dengan Laura. Ya, perpisahan itu terlalu menyakitkan. Sampai titik ini, tangisnya telah pecah, isaknya manggaung terpantul tidak sempurna di dinding-dinging rumah sekitar gang.

"Kenapa? Kenapa aku tak bisa bahagia? Kenapa Laura? Setelah semua yang ku lakukan ini, kenapa aku tidak bisa bahagia?" Kata di sela isak tangisnya yang semakin tak terkendali.

"Ku pikir aku akan merasa bahagia setelah kulakukan ini? Tapi..tapi..aku tetap kesepian. Kenapa Lauraaa.!!" Tangis Wayne histeris.

Salju turun makin lebat tetapi Wayne masih duduk di sana, di pinggir jalan gang kecil kota London, dengan pistol di tangan kanan nya, mayat laki-laki yang Wayne tahu telah membunuh Laura, dan sinar dari sirine Polisi di depan gang yang kini menyinari wajahnya.

Bukan

Bunga mawar merah terletak di depan kamar ku. Entah sudah bunga mawar merah keberapa. Indah, tapi selalu sama, berakhir di tong sampah. Dari jengkel sampai bosan, aku pungut bunga mawar merah itu dan membuangnya ke tong sampah.

Bukan aku tidak suka bunga mawar, hanya aku tidak suka akan maksud kedatangannya. Bunga mawar itu ia kirimkan tiap hari. Datang beserta dengan surat-surat ucapan yang tak perlu lagi aku baca isinya. Dari jengkel sampai bosan, aku melihat kata-kata yang sama. lelah sudah tangan ini merobek kertas yang menjengkelkan itu.

Apakah dia tak sadar? Bukan mawar merah ini yang aku mau, bukan semua kata-kata manis yang memuakkan itu juga. Bahkan semua digit yang dia kirimkan ke rekeingku itu, aku tidak membutuhkannya.

Aku sudah putus asa, menunggu dia sadar bahwa anaknya tak butuh itu semua,dia hanya butuh pengertiannya, hanya butuh kerendahan hatinya untuk datang, menemuinya.