Sabtu, 26 Januari 2013

Demon's Love Letter

Kudengar sebuah pertemuan itu menyenangkan, tapi apakah benar?
Ku dengar sebuah perkenalan adalah sebuah anugerah, tapi apakah benar?
Mungkin benar, tapi tidak untuk kita..
Perkenalan antara dirimu dan diriku, itu hal yang mereka sebut tabu.
Rasa Cinta yang tumbuh dan mengakar di hati kita, itu hal yang mereka sebut kemustahilan.
Di tempat bernama Bumi itu kita bertemu, dengan pedang suci di tangan mu  dan sabit kematian di tangan ku.
Tapi bagaimana mungkin pedang itu tidak menembus jantungku dan sabit ini tidak mengoyak sayap putih mu?
Apakah rasa itu penyebabnya? Ya, rasa yang mereka sebut Cinta.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Mereka bilang Cinta itu Gila, ya itu benar.
Cinta yang membuat kita gila.!!
Hanya kegilaan Cinta yang membuat mu melawan terangmu dan yang membuatku melawan gelapku.
Ya, hanya kegilaan Cinta yang membuat kita mau menjadikan alam semesta musuh kita.
Hei, Malaikat pembawa Cinta ku, pertemuan kita hanya sementara. Aku yakin kau juga tau itu.
Bumi ini bukan tempat kita untuk memadu kasih. Adakah tempat untuk kita memadu kasih?
Seandainya ada abu-abu di dunia kita, tempat hitamku dan terangmu bersatu, tempat putihmu dan gelapku bersatu.
Tapi itu tidak ada sayang, itulah aturan Cinta kita.  Cinta kita yang terlarang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kita harus berpisah, itu sudah pasti hai pembawa Cintaku.
Kau dengan kepakan sayap putihmu harus kembali ke langit yang ke-7.
Dan aku dengan sayap hitamku harus menghilang dalam neraka terdalam.
Tapi, apakah kau tau Sayang? Jarak yang terbentang ini, jarak yang mereka sebut tidak terbatas, tidak akan mengurangi rasa yang semakin besar di hatiku, Sayang. Ku yakin hatimu juga begitu.
Satu hal yang pasti wahai Malaikat Cintaku, perpisahan sebenarnya adalah ketika kita bertemu untuk kedua kalinya..
Ya, di tempat bernama Bumi, tempat kita pertama bertemu.
Tempat di mana aku membinasakan mereka dan di mana dirimu mengangkat mereka.
Ya, di pertempuran terakhir itulah kita jumpa perpisahan kita.
Wahai Cinta..Satu yang ku mohon darimu..
Berjanjilah, jangan kau pergi berpaling, tapi jadilah satu-satunya malaikat yang memusnahkanku bila saat itu tiba.

Kamis, 24 Januari 2013

Amazing Morning


Amazing Morning


“Haatcchiiim.!!” Dingin sekali..
Tentu saja dingin, siapa yang tidak kedinginan bila bersepeda pukul 04.00 pagi di awal musim dingin seperti ini. Sampai detik ini aku masih heran pada diriku sendiri. Bisa-bisanya seorang Rico yang dikenal orang suka bangun siang bisa mengayuh sepedanya pada pukul 04.00 pagi. Yang jelas semua ini berasal dari pertanyaan iseng ku kemarin sore di sekolah.

Kemarin sore sepulang sekolah aku, Dean, Aria dan Eno seperti biasa pulang bersama-sama menuju halte bus di dekat sekolah. Seperti biasa juga kami ngobrol-ngobrol disana. Semua hal bisa menjadi obrolan, dari hal-hal mengenai pelajaran, pakaian orang yang lewat, trayek bus, sampai dengan cinta, kami obrolkan di sana. Sering kali salah satu dari kami harus melewatkan bus karena keasikan ngobrol. Tapi tidak untuk sore kemarin, Dean harus cepat-cepat pulang karena ia harus pergi nanti malam, Eno juga, sebagai pacar yang baik ia harus menemani Dean sampai rumahnya dengan selamat. Hal yang bodoh dan merepotkan menurutku. Jadi sore itu tinggal aku dan Aria di halte itu.

“Huft, enak ya punya pacar..kemana-mana ada yang nganterin.” Celetuk Aria melihat Dean dan Eno yang duduk manis di dalam bis yang mulai berjalan.
“Kalo cewek mah enak, lha kalo cowok..kan repot banget kalo antar-jemput gitu.” Balasku
“Fuuuh..Cuma kamu yang begitu, Dasar Rico pemalas.!!” Aria menghela nafas dan mengataiku, sepertinya dia tersinggung.
“Eh, gimana sekolah hari ini?” aku mencoba mengganti topik.
“Emm..gimana ya? Biasa sih..gak ada yang special. Kecuali, tadi ada ulangan mendadak. Selain itu, biasa saja..” cerita Aria.
“Sama, aku juga. Pagi hari berangkat, duduk, dengerin guru ngajar, istirahat, ketemu kalian, belajar lagi, istirahat lagi, ketemu kalian lagi, belajar lagi dan pulang. Udah gitu doing idup ku seharian.”
“Hahahaha, monoton banget ya idup kamu Co.” canda Aria.
“yeee, malah diketawain sih, tapi bener deh akhir-akhir ini ak ngrasa hidup ku tuh monoton banget. Pengen ngapain gitu biar gak monoton. Gimana ya biar bisa gak biasa-biasa gini? Pengen sesuatu yang luar biasa..hahaha.  ” Kataku sedikit curhat.
“Ya gitu tu idupnya orang males, hahahaha.” Canda Aria lagi. Tapi bukannya tersinggung malah aku ikut  tersenyum. Tawa Aria memang lain. Tawa Aria itu..manis.
“Dasar Aria, gak bisa diajak ngobrol serius ni. Eh, itu bis kamu kan? Mau naik sekarang?”
“Emm..iya deh..udah laper juga, pengen makan di rumah.” Kata Aria sambil  berdiri menyambut bis yang datang.
“Ati-ati ya.” Balasku
“iya..tau..” Aria kemudian naik bis dan pergi. Begitu juga aku setelah datang bis berikutnya.
------------------------
Malam hari setelah percakapan tadi aktifitas di rumah juga berjalan seperti biasa. Mandi, makan, nonton TV di ruang tengah dan karena besok hari libur aku putuskan dengan bermain Game. Game malam itu adalah hal yang paling berwarna dalam hari itu. Sedang asik bermain game tiba-tiba HP berbunyi, dan kau tau siapa yang menelepon? Aria..
“Halo, Aria?”
“ Ha..halo Rico..”
“Kenapa? Tumben telepon?”
“Emm..masih inget yg tadi kita omongin?”
“Apa?”
“Itu..ttg idup kamu yg monoton.”
“Ah, itu..kenapa emang?”
“Emm..masih mau gak ngrasain yang luar biasa? Aku tau caranya, Hahaha..”
“Yam au lah, gimana caranya? Beneran gak tuh tapi..
“BENERAN.!! Mau gak?
“Gimana?”
“Kamu ada Sepeda kan? Nah, besok jam 04.00 kamu ke rumah ku, jemput aku.”
“Haaa? Jam 04.00? Pake sepeda ke rumah kamu?”
“Iya, ya udah ya..ak tunggu besok.!!”
“Tapi..tapi..”

Tut-tut-tut..Mustahil, mana bisa aku bangun jam segitu, dan rumah Aria juga jauh, 15 menit pake sepeda, itu jauh. Tapia apa iya aku mau buat Aria menunggu? Aku juga penasaran, mau apa besok. Tapi sejujurnya aku lebih tidak bisa lihat Aria kecewa.
Setelah itu hal yang aneh terjadi padaku, pertama aku berhenti bermain game dan mematikan komputerku, yang kedua jam 21.00 aku tidur. Sungguh aneh..
--------------------------------
 Pukul 04.00 pagi aku berangkat ke rumah Aria, meninggalkan Ibku yang terheran-heran di rumah. Dingin sekali pagi ini, itulah mengapa aku malas bangun pagi. Tapi pagi ini..aneh.
Kukayuh maju sepedaku secepat mungkin dan semampu mungkin supaya cepat sampai, dingin sekali. Dan sekitar 15 menit kurang aku sudah sampai di rumah Aria. Dan Aria sudah ada di depan pintu rumah, dia tampak sudah siap, dia juga membawa tas punggung kecil.

“Aria..”
“Heee, Rico? Gimana? Bangun pagi luar biasa kan? Hahahaha”
“Gak lucu Ariaaa..kita mau ke mana sih?”
“Emm, Rahasiaaa..udah nurut aja ntar.”
“Ya udah, ayo berangkat.”
“PAH, MAH ARIAA BRANGKAT DULU.!!” Seru Aria pamit ke kedua orang tuanya seraya menghampiriku dan naik di boncengan belakang sepedaku.
“Yaaa, Hati-hati, Salam juga buat Dean dan Eno ya.” Kata Ibu Aria dari dalam rumah.
“Eh, Dean dan Eno juga ikut?”
“Enggak.” Kata Aria pelan.
----------------------------------------------------------
Selama perjalanan Aria menunjukkan jalan. Kami melewati keramaian-keramaian kecil di pagi hari. Selama perjalanan ada yang berbeda, tidak sedingin tadi. Apakah karena langit yang sudah mulai berwarna atau karena..Aria? Ah, sudahlah..
Hampir 20 menit aku mengayuh sepeda, capek juga ternyata.

Bruk.!! Tiba-tiba sepedaku oleng dan kami jatuh terduduk di tengah jalan.
“Aduh.!! Batu sialan..”
“Aduh..Sakit..”
“Aria, kamu gak apa-apa? Maap aku gak liat ada batu di situ.”
“Hehe, gak apa-apa kok..harusnya aku yang minta maaf, kan aku yang ngajak kamu ngobrol terus.”
“Ah iya, ini salah kamu berarti..hahahaha..” kataku menggoda.
“Ih, kok malah gitu..gak jadi.! Salah kamu aja.!!”
“Hahahaha, ya udah ayo brangkat lagi.”
“Yuk..”
Lanjut..kukayuh lagi sepedaku dan sepertinya aku sudah tau ini jalan kemana.
“Ah, itu tu..berhenti di situ ya Rico.” Kata Aria sambil menunjuk warung kecil yang menjual roti bakar di pinggir jalan.
Aria Turun dan memesan dua roti bakar. Satu rasa Strawberry kesukaannya dan Coklat rasa kesukaanku, Aria tahu. Setelah memesan, Aria memasukkan roti bakar itu kedalam tas nya.
“Aria, masih jauh gak? Ini arah pantai kan?”
“Iya, Udah deket kok..Semangat.!!”
“Yuk lanjut.”
“Eh, bentar..” Aria mengeluarkan sapu tangan dan menyeka muka ku yang penuh keringat karena dari tadi mengayuh sepeda. Setelah itu kulanjutkan lagi mengayuh sepeda, jantungku berdebar kencang sekarang.

Tidak lama kmudian, pemandangan tiba-tiba berubah, pantai terlihat begitu luas dan indah dengan awan yang mulai tampak bergulung-gulung di atas langit yang masih belum begitu berwarna.
“indah ya..”
“ini belum seberapa. Rico, berhenti di sana ya..” Kara Aria menunjuk sebuah mercu suar yang ada di pinggir bukit batu.
“kita mau naik ke sana? Boleh?”
“Iya, boleh kok. Ayah ku sudah bilang ke penjaganya.”

Aku memarkirkan sepedaku di bawah Mercu Suar itu, tanpa kusadari matahari sudah mengintip dengan indahnya di balik cakrawala, mulai mewarnai langit dan awan dengan sinarnya.
“Ayo cepat, udah mulai Sunrise.!!” Kata Aria penuh semangat. Aria menarik tanganku, dan kami menaiki tangga mengelilingi Mercu Suar untuk sampai ke atas.
“Aaaaaahhh, indah banget.!!” Kata Aria dengan senyum lebar di mukanya yang diterpa sinar mentari pagi.
“Iya indah..”
“Nih, Roti kamu..Eh, Gimana? Luar biasa kan? Gak monoton kan pagi kamu hari ini?”
“Iya..luar biasa..Terima kasih ya” Mata kami bertemu. Sekejap kulihat mata Aria, senyum Aria dan rambutnya yang terurai ditiup angin. Luar biasa indahnya.
Kami diam untuk beberapa menit, menikmati roti bakar, sebotol air mineral yang Aria bawa dan Sunrise yang mulai meninggi. Sungguh luar biasa pagi itu.

Hatiku yang terdalam masih belum cukup dengan keajaiban pagi ini. Masih ada satu hal yang bisa membuat pagi ini, hidup ini, lebih luar biasa, lebih sempurna. Angin yang terus membelai wajahku pun berbisik seperti itu. Sinar Sunrise yang hangat juga mendukungku. Apakah aku harus melangkah, melanggar batas bernama persahabatan?
“A..A.Aria..”
“Apa?”
“Apa masih ada hal lain yang bisa membuat hariku lebih indah? Lebih luar biasa?”
“Ha? Apa ya? Emang ada yang lebih indah dari ini? Yang lebih luar biasa dai ini?”
“Ada..orang-orang menyebut itu Cinta.”
“Rico..”
“Aria, aku menemukan Cinta ku pada dirimu..Aku Cinta kamu Aria.!!”
“Aria, apakah kamu mau jadi Cintaku?”
-------------------------------------------------
Sepertinya aku harus mencabut kata-kataku tentang Eno sekarang. Terima kasih Tuhan. Pagi itu Luar Biasa..Sempurna.

Selasa, 22 Januari 2013

Never Give Up


Apakah kau suka memandang langit biru? Sekarang aku sedang memandang langit biru itu. Tapi tidak kusangka memandang langit bisa sesakit ini. Kalau kau mau tau, saat ini aku sedang terbaring di dalam kotak pinalti setelah terkena tackle dari seorang bek lawan. Ouch, sakit sekali kaki ku. Tapi sepertinya tidak cidera.
"Hei, lo ga apa kan? Sorry ye.." Kata pemain yang baru saja menjatuhkanku seraya mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri lagi.
Sisi baiknya adalah tim kami dapat hadiah tendangan pinalti. Tidak sia-sialah rasa sakitku ini. Sepertinya Rey yang akan mengambil tendangan pinalti. Aku juga harus bersiap-siap di belakang garis kotak pinalti jaga-jaga bila ada bola mutah. Kulirik jam di atas papan skor yang terpajang di samping lapangan. Terlihat pemandangan yang tidak enak dipandang di sana, jam menunjukkan bahwa 15 menit lagi pertandingan berakhir, dan kesebelasan kami dalam posisi kalah 3-0. Satu-satunya yang dapat membuatku tersenyum adalah Milana yang berteriak penuh semangat member semangat kami di sana, di sisi lapangan.
Priiit.. terdengar suara peluit yg ditiup wasit. Berbarengan dengan itu Rey menendang bola kea rah kanan gawang dan . . . keeper lawan dengan sigap menepisnya, dan bolapun melambung. Bola mutah.! Aku berlari kearah bola itu tapi tanpa kusadari Sam juga berlari kearah yang sama. Sial sekali, kami malah bertabrakan dan bola jatuh ke kaki bek lawan. Sakitnya sih tidak seberapa, tapi malunya itu lho. Pasti tadi kami terlihat bodoh.
Lanjut!! Lima belas menit terakhir terasa berat sekali, kami diserang habis-habisan. Tidak ada kesempatan menyerang. Hasil akhirpun sudah jelas. . .kami kalah.
Siang itu kami kembali ke sekolah kami dengan membawa kekalahan. Tetapi dari semuanya Rey lah yang terlihat down. Bagaimana tidak, dia menyia-nyiakan satu-satunya kesempatan untuk mencetak gol. Bila aku jadi Rey aku juga bakal mengutuki diriku sendiri. Dan satu-satunya senyum di hari itu adalah senyum Milana, manager tim kami, tapi aku yakin itu bukan senyum karena bahagia, ia hanya mencoba menyemangati kami kembali dengan senyum dan keceriaannya itu. Dan seperti biasa hari untuk tim sepak bola kami ditutup dengan evaluasi dari Kapten kami, Marko.
----------------------
Pagi hari, waktunya aku dan teman-teman tim ku sekolah. Sial, pagi ini aku terlambat. Tapi bukan cuma aku saja, Milana dan Marko juga. Penyebabnya sudah jelas yaitu pertandingan AC Milan vs Barcelona. Bagi fans bola fanatic seperti kami, terutama aku dan Milana yang seorang Milanisti (fans AC Milan) dan Marko yang tergila-gila dengan Barcelona tidak akan melewatkan Big Match seperti itu. Jadi, pagi itu kami awali dengan sarapan pidato panjang lebar dari Pak Satpam, yang bertugas menangani anak-anak yang terlambat. Tapi tidak lama kemudian, datang Kepala Sekolah, Pak Bartoz, ia datang ketika melihat Marko. Dan memang benar beliau datang untuk menemui Marko. Pak Bartoz memanggilnya, berbicara sebentar padanya dan sesaat kemudian ia melihat kea rah ku dan Milana, memanggil kami dan membawa kami ke ruangannya. Ada apa gerangan?
“Mark, bagaimana kabar club sepak bola sekolah kita?” Tanya pak Bartoz membuka pembicaraan.
“Umm, lumayan Pak.” Jawab Marko ragu.
“Hmm, lumayan ya? Tapi menurut data yang saya dapat, club sepak bola adalah club yang tidak dapat menyumbang prestasi selama ini.”
“. . . .” Mark, Milana dan aku tidak dapat berkata apa-apa untuk menyanggah fakta ini.
“Jadi, saya mempertimbangkan untuk membubarkan club sepak bola ini, dan mengalokasikan dana untuk club lain yang lebih berprestasi. Kalian pasti mengerti pentingnya prestasi bagi sekolah kita ini. Dan kalian juga pasti mengerti arti kekalahan bagi nama sekolah kita ini. Saya sebagai Kepala Sekolah tidak akan membiarkan nama Sekolah kita tercoreng karena Club Sepak Bolanya tidak berkualitas.”
“Pak, kami tidak punya pelatih untuk mengajari kami. Seandainya kami diberi pelatih, kami pasti..”
“Dulu Sekolah sudah menggaji pelatih untuk Club sepak bola, tapi hasilnya nihil, jadi tidak ada lagi pelatih untuk kalian.!”
“Uh…” Lagi-lagi kami tidak bisa membalas, karena itu fakta yang benar-benar terjadi.
“Pak, apakah tidak ada cara lain agar Club kami dapat bertahan?” tanya ku.
“Satu-satunya yang saya minta adalah PRESTASI, apakah kalian bisa?” kata Pak Bartoz menantang.
“Err..Sebenarnya kami sedang mengikuti kejuaraan antar SMA Pak..” kata Milana.
“Nah, berarti itu kesempatan terakhir kalian untuk buktikan kualitas kalian. Tidak ada jalan lain, menang atau bubar.!!”
“Baiklah Pak..Kami akan berusaha.” Tutup Marko.
-----------------------
Sepulang sekolah seperti biasa tim sepak bola berkumpul di ruangan club. Setelah semua berkumpul Marko menceritakan apa yang dikatakan Pak Bartoz kepada anggota Tim. Shock, itu sudah pasti. Dan seperti yang aku sudah duga, suasana pesimis menyelimuti kami. Bagaimana mungkin kami bisa memenangkan kejuaraan ini? Sebenarnya kami tidak begitu jelek saat bermain, tapi entah mengapa kami lebih banyak mengalami kekalahan dari pada menang. Dan saat ini bisa dibilang kami termasuk tim Underdog dalam kejuaraan ini.
“Yah, berarti nasib Club Sepak Bola hanya sampai sini nih?” kata Sam menyambut informasi dari Marko.
“Enggak.!! Club Sepak Bola harus tetep ada..dan lagi, aku percaya kok kalo kita bisa menangin kejuaraan kali ini. Kita pasti bisa.!!” Ujar Milana.
“Kamu kan gak ikut main, yang main kan kami, yang ngrasain sulitnya tu kami.!” Balas Sam pesimis.
“Bisaaa.!! Kita harus berusaha.!! Selama ini aku lihat kalian main, kalian main bagus, kita juga punya Marko dan Rey. Iya kan Mark, Rey? ” Teriak Milana.
“Ugh..terserah kalian saja..” kata Rey yang lalu beranjak pergi keluar ruangan. Sepertinya Rey Shock dan emosi. Tentu saja, dia yang merupakan MVP ketika SMP bersama dengan Marko dan bercita-cita menjadi pemain Tim Nasional harus memupuskan harapannya disini.
“Hey Rey tunggu.!!” Teriak Marko seraya menyusul Rey keluar. Setelah itu terdengar suara dari Marko dan Rey. Sepertinya mereka sedang berdebat di luar sana.
Aku dan anggota Tim lainnya tetap di dalam. Keadaan di dalam sangat suram. Milana dan Sam terus saja bertengkar saling menyalahkan. Anggota Tim lain juga saling beradu mulut tentang, beberapa memilih diam dalam kepesimisan seperti aku.
Dalam benakku Cuma ada satu pernyataan. Kalau kita mau tetap ada maka kita harus menang, dan untuk menang kita harus berlatih, berlatih lebih keras. Pilihan lain yang ada hanyalah menyerah. Dan aku tidak mau itu.
“AAAARRRGH.!!” Tidak sadar aku berteriak. Mungkin sudah tidak tahan dengan kesuraman dalam ruangan itu. Aku mengambil sekeranjang bola dari loker dan keluar menuju lapangan. Terlihat dipinggir lapangan Marko dan Rey, dari yang ku dengar Marko sedang mempertahankan Rey agar tidak menyerah dan menelantarkan Club Sepak Bola. Tanpa sadar aku sudah ada di tengah lapangan. Ku keluarkan bola-bola dar keranjang dan mulai menendangnya kearah gawang. Emosiku tersalur di setiap tendangan itu.
“AAAH, AKU BILANG AKU SUDAH TIDAK PEDULI LAGI.!! AKU BOSAN KALAH.!!” Terdengar teriakan Rey. Rupanya ia berteriak kepada Marko. Aku kaget melihatnya. Tapi bukan Cuma aku, seluruh anggota Tim yang ternyata sudah ada di luar melihatnya juga dan terpana.
“Tunggu Rey.!!” Seru Marko seraya menarik pundak Rey yang mulai berjalan membelakanginya. Dan tiba-tiba. . .
Buk.!! Rey melayangkan tinju ke pipi Marko. Seketika itu pula Marko jatuh terduduk, tidak menyangka Rey berbuat sejauh itu. Rey pun mulai berjalan menjauh.
Aku tidak tahan melihat pemandangan itu. Aku mengambil bola dan kutendang mengarah ke tempat Rey. Berharap mengenai Rey dan membuatnya berbalik. Tapi tendangan ku melambung terlalu tinggi dan mendarat jauh di depan Rey. Sekali lagi.! Nyaris kena..Rey berhenti sejenak, dan berjalan lagi. Ugh..Sekali lagi.!! Ku tendang bola kea rah Rey lagi dan kali ini..tepat kena tas Rey. Rey kemudian berbalik badan, diam.
“Rey.!! Segitu takut kah kau?! Ha?! Pengecuuut.!!” Teriakku. Emosiku meluap-luap.
“Ke sini kalau berani.!! LAWAN AKU.!! KUAJARI CARA BERMAIN BOLA.!!!” Aku beteriak seperti orang hilang akal.
Rey hanya terdiam. Tapi sesaat kemudian ia berlari kearahku. Ya dia berlari ke tengah lapangan, dia menerima tantanganku. Dia melemparkan tasnya dan mengambil bola kemudian menggiringnya kearahku. Aku bersiap menyambutnya. Menahan laju giringan Rey agar tidak bisa melewatiku dan menggiring bola sampai ke Gawang di belakangku. Selama beberapa menit aku dan Rey saling serang, saling rebut. Dan tau apa yang ku rasakan? Semangat itu muncul lagi. Ya, Cuma di tengah lapangan, bermain sepak bola yang dapat membuat kami bahagia, dapat membuat kami merasakan panasnya semangat. Aku yakin Rey juga merasakan hal yang sama. Samar-samar aku melihat senyum Rey saat menggocek bola.
“HEY.!!” Tiba-tiba Marko berteriak kepada kami dar sisi lapangan. Dan di belakangnya ada teman-teman Tim sepak bola.
“Kalian melupakan kami? Kami juga mau latihan..kami juga mau memenangkan kejuaraan.!” Kata Marko.
Kemudian mereka masuk kedalam lapangan mengelilingi aku dan Rey. Marko merangkulku dan tersenyum menatap Rey. Rey menunduk terdiam, tidak dapat menatap mata Marko.
“Rey..”
“Diam..atau ku pukul lagi kau, Mark. Aku tau..aku salah..tidak seharusnya aku menyerah begitu saja, ma..maaf..” Rey yang angkuh itu mulai terisak.
“Ayo kita latihan..untuk menang.” Kata Marko sambil menepuk pundak Rey.
“YAK, AYO KITA MULAI LATIHAN.!!” Teriak Marko mengomando seluruh Anggota Tim.
“YOSH.!!” Seru 15 orang anggota Tim Sepak bola menjawab panggilan sang Kapten.
Sore itu menjadi awal latihan yang berat. Dalam satu minggu Tim Sepak Bola ini harus bisa jadi lebih kuat agar bisa meraih juara. Tapi satu yang pasti, kami melewati tiap latihan yang berat dengan penuh semangat dan antusiasme.
-----------------------
Usaha keras tidak akan mengkhianati. Ya, itu betul. Tim Sepak Bola Kami berhasil menunjukkan kekuatan kami yang sesungguhnaya dan menyabet juara tiga. Pada awalnya kami mengira kalau Club akan dibubarkan karena tidak bisa juara pertama. tapi diluar dugaan Kepala Sekolah bilang "Juara 3 itu juga prestasi"  

Minggu, 20 Januari 2013

MISSION


            
Mission

            Teeeet..Teeeet..Teeeeeeet..Bel istrirahat pertama berbunyi tepat pukul 09.00 pagi. Suasana kelas yang tadinya sepi berubah ramai seketika. Murid-murid berhamburan keluar kelas untuk memanfaatkan waktu istirahatnya. Tak terkecuali seorang anak laki-laki berambut sedikit acak-acakan, bermuka ngantuk, dan berperawakan tidak terlalu tinggi. Ia bernama Aska.  Sebelum keluar kelas Aska memasang earphone di kedua telinganya dan mencari lagu favoritnya di dalam HPnya. Tap, ia memilih lagu dari YUI-Green A.live. kemudian ia mengambil roti dari dalam tasnya, beranjak dan keluar. Tempat yang ia tuju saat istirahat berbeda dengan siswa-siswi lainnya, bukan ke kantin, bukan ke perpustakaan atau bukan juga duduk-duduk di depan kelas. Melainkan ia berjalan menuju tempat duduk yang melingkar bawah pohon rindang di pojok sekolah. Tidak ada seorangpun di sana, bukan sebuah tempat favorit  karena tempatnya terlalu jauh dari kantin. 
            Aska duduk di bawah pohon itu, membuka roti dan memakannya. Terkadang ia menyanyikan lagu yang ia dengarkan melalui earphonenya.
            “hei..hei..bolehkah aku duduk di sini?”
            Seorang anak perempuan tiba-tiba muncul di depan Aska yang sedang asik menikmati musik sambil memejamkan mata dan bergumam menyanyikan lagu yang ddidengarnya.
            “HA.! Ah..umm..maaf..hehe..boleh duduk aja.” Jawab Aska sekenanya.
            Aska masih memperhatikan anak perempuan itu. Ia berrambut lurus panjang, cukup tinggi untuk ukuran wanita, dan menurut Aska ia manis dan bersahaja. Tapi disamping itu ada yang aneh. Ia seragam yang ia kenakan agak berbeda. Itu seragam sekolah ini, tapi ada yang berbeda. Seragam baru mungkin. Sepertinya juga ia anak pindahan, karena Aska tidak pernah melihatnya sebelumnya.
            “Hei..” anak Perempuan itu menyodorkan tangannya ke arah Aska.
            “Aku Greta.” Kata anak perempuan itu ketika Aska menjabat tangannya.
            “Aku Aska.” Balas Aska singkat, masih bingung dengan keberadaan Greta yang kini duduk di dekatnya.
             “Sedang apa disini?” Tanya Greta terlihat hendak memulai percakapan.
            “Sedang istirahat. Aku sudah biasa duduk di sini kalau istirahat.”
            “Kenapa di sini?”
            “Karena aku suka di sini, sepi, gak ada yang ganggu.”
            “Bukannya berkumpul atau makan bareng teman-teman lebih asik?” Tanya Greta lagi.
            “Aku..aku..tidak suka ramai..” Jawab Aska sambil memalingkan mukanya.
            “Ah..aku tau!! Kamu gak punya teman kan? Hahaha..”
            “Berisik.!! Aku punya.!!” Jawab Aska sedikit emosi.
            “Hahaha, Oke..oke aku percaya kamu punya.” Kata Greta sambil tersenyum menenangkan  Aska.
            “Kamu ngapain di sini?” Tanya Aska, masih ada sedikit nada emosi.
            “Emm..Aku..Aku mau bertemu seseorang di sini, aku udah janji mau bertemu seseorang di sini.”
            “Oh, gitu..” Aska menanggapi. Setelah itu Aska memasang kembali earphonenya, menyandarkan diri di kursi dan menengadahkan kepalanya kembali menikmati musik.
            “Aska..Aska! boleh tanya gak?” Tanya Greta sambil menarik satu earphone Aska karena Aska tidak mendengarnya.
            “Ugh, kalau mau tanya tinggal tanya kan.” Jawab Aska agak kesal.
            “Kalau menurut kamu, hidup itu apa?” Pertanyaan yang aneh menurut Aska.
            “Ha? Hidup?”
            “iya Hidup”
            “Hidup ya hidup..Seseorang lahir, tumbuh besar, kerja, tua dan akhirnya mati.”
            “Hahaha, gitu ya? Kalau besok kamu tahu kamu bakal mati..apa yang akan kamu lakukan untuk hidup sebelum kamu mati besok?
            “Hee? Pertanyaan mu aneh.”
            “Jawab aja..”
            “Apa ya? Mungkin berkumpul sama keluarga, minta maaf sama orang-orang, biar masuk surga.” Jawab Aska asal.
            “Oh gitu ya.” Greta menanggapi dan tersenyum.
            “Kok senyum? Jawaban ku aneh ya..hahaha”
            “Gak kok..tapi menurutku hidup itu adalah sebuah misi.”
            “Ha? Misi?”
            “Ya, misi..aku percaya bahwa manusia ada di dunia ada alasannya, ia tidak lahir untuk sekedar lahir, tumbuh, kerja, tua dan mati. Tapi dalam pasti ada yang harus ia lakukan dalam hidupnya, sebuah misi yang hanya dia yang bisa melakukannya. Lihat saja, di sekitar manusia yang lahir pasti ada manusia lain, ada hewan, ada tumbuhan atau bisa kita sebut alam. Seseorang yang benar-benar hidup adalah orang yang menemukan misinya di antara itu semua dan menyelesaikannya..itu menurutku.” Greta menjelaskan sambil membuat tanda X di tanah, di dekat ia duduk, dengan ranting pohon yang terjatuh disekitar situ. Aska juga melihat kosong ke tanah yang dicoret-coret oleh Greta selama mendengarkan penjelasan Greta.  
            “Contohnya?”
            “Umm, contohnya pohon ini..mungkin saja seseorang menyadari bahwa salah satu misi hidupnya adalah untuk menanam pohon ini agar sekolah ini lebih rindang.”
            “Simpel amat berarti hidupnya?”
            “Kan salah satu. Contoh lain, seseorang yang misi hidupnya untuk berguna bagi orang lain dan ia memilih menjadi guru untuk menyelesaikan misi itu.”
            “Hmm..gitu ya..”

            Teeeet Teeeet.. Bel masuk berbunyi. Pertanda istirahat pertama telah berakhir.
            “Hmmh, udahan yuk, kita harus masuk kelas, kamu kelas mana?”
            “Emm iya, kamu duluan aja aku mau di sini dulu, orang yang aku tunggu belum datang. Aku anak kelas 2-B.”
             “Oh, ya udah..ak masuk duluan.” Kata Aska yang setelah itu berjalan menuju kelasnya.
---------------
            Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Biologi oleh Pak Aldo. Pelajaran berjalan seperti biasa. Pak Aldo menerangkan tentang materi biologi dan selanjutnya Pak Aldo berbicara tentang gerakan penghijauan selama 15 menityang menjadi ciri khas pelajarannya. Maklum saja Pak Aldo merupakan orang yang aktif dalam gerakan penghijauan. Dan Aska hanya memperhatikan selama 15 menit terakhir itu, entah mengapa Aska tertarik dengan dunia itu.
---------------
            Teeeet..Teeeet..Teeeeeeet..Bel istrirahat pertama berbunyi tepat pukul 11.00 siang. Menandakan istirahat ke-2 dimulai. Seperti biasa dengan earphonenya Aska menuju ke tempat duduk melingkar di bawah pohon. Nampaknya kali ini Greta tidak muncul. Mungkin dia sudah ketemu dengan orang yang ia tunggu tadi.
            Tidak lama kemudian datanglah seseorang, ia adalah pak Aldo. Pak Aldo datang membawa skop. Mau apa Pak Aldo? Tanya Aska dalam Hati.
            “Eh, Aska..sedang apa?” tanya pak Aldo
            “Sedang Istirahat lah Pak, Bapak sendiri?” Jawab Aska sekenanya.
            “Oh..Aku lagi cari sesuatu..Aska, bisa minggir sebentar?”
            “Ah..bisa Pak.” Aska bergeser, sekarang ia duduk di temapat Greta duduk tadi. Dan melihat Pak Aldo mulai menggali dengan skopnya di sekitar Aska duduk tadi.
            “Aska..Menurut kamu Hidup itu apa?” Tanya Pak Aldo tiba-tiba.
            “Ha? Hidup? Perasaan hari ini banyak yg tanya tentang hidup..”
            “Hahaha, kebetulan sekali ya..terus apa jawabanmu?”
            “Menurut saya sih Hidup ya hidup..Seseorang lahir, tumbuh besar, kerja, tua dan akhirnya mati, tapi orang yang ngobrol sama saya bilang kalau hidup itu adalah Misi”
            “Ha..Misi?” Pak Aldo tiba2 berhenti menggali dan memandang Aska.
            Lalu Aska mengulangi lagi kata-kata Greta dan menjelaskannya kepada Pak Aldo. Pak Aldo terlihat kaget, heran, atau takjub, Aska mencoba menerka ekspresi Pak Aldo.
            “Kenapa Pak? Kok kayak kaget gitu? Gak nyangka ya saya bisa ngomong gitu? Hahaha..”
            “Enggak, dulu teman saya juga pernah ada yang berbicara seperti itu..” kata Pak Aldo.
            “Oooh..berarti banyak ya yg berpandangan sama tentang hidup.”
            “Ya, Teman saya itu dulu sekolah di sini, sekelas dengan saya. Dia bilang kalau misi hidupnya akan membuat Dunia ini Hijau kembali. Dan ia mulai dari sekolah ini. Dulu sekolah ini gersang lho, tapi gara2 teman ku yang ketua klub Biologi itu usul ke kepala sekolah untuk melakukan gerakan menanam pohon, sekolah ini bisa rindang seperti sekarang. Katanya, mulai dari sekolah ini, dan selanjutnya ke seluruh Dunia. Misi yang luar biasa menurutku.”
            “Oooh..ya.ya..bener juga kata Greta..” kata Aska pelan.
            “Siapa? Greta?”
            “iya Greta, tadi siswi yang ngobrol sama saya Pak. Sepertinya dia anak baru. Soalnya dia pake seragam model Baru.” Jelas Aska.
            “Nama temanku yg aku ceritakan tadi juga Greta namanya, kebetulan sekali ya..” kata Pak Aldo, tapi tersimpan penasaran di mukanya.
            “Wah kebetulan banget ya..tadi anaknya di sini, katanya nunggu orang Pak. Tuh tadi dia coret2 tanah di situ.”
            “Ah.!! Aska bisa minggir lagi?!” Kata Pak Aldo semangat, seperti teringat sesuatu.
            “Ya Pak.,.”
            Kemudian Pak Aldo menggali di tanda X yang tadi ditinggalkan Greta, dan tidak lama kemudian..Duk.. Skop membentur sesuatu. Ternya ta sebuah kotak Plastik. Dengan tidak sabar Pak Aldo mengambil dan membukanya. Dan isinya adalah sebuah buku catatan bersampul cokelat. Di depannya bernama Aldo.
            “Itu buku bapak?”
            “iya, ini buku ku yang dipinjam oleh Greta. Katanya akan mengembalikan Catatanku ini setelah pohon yang kami tanam ini sudah besar. 15 tahun katanya..dan itu tepat hari ini. Tapi sayang, Greta sudah lebih dulu dipanggil Yang Kuasa.”
            “Greta..Aku akan melanjutkan Misimu..aku sudah menanam banyak Pohon di luar sana.” Pak Dodi mengakhiri dengan melihat ke pohon rindang yang dulu ditanamnya bersama.
            Kemudian Pak Dodi membuka Buku itu. Kemudian tersenyum kepada Aska.
            “Buat kamu.” Pak Dodi memberikan Buku itu ke Aska. Kemudian pergi.
            Aska menerimanya dengan diam. Bingung apa yang sebenarnya terjadi.   Aska pun membuka buku itu. Membolak-balik halamannya dan kemudian ia menemukan sebuah kalimat:
“Hidup itu Misi. Aku sudah berusaha menyelesaikan Misiku. Bagaimana dengan Misimu?
Greta
            Di Bawahnya ada sebuah foto, laki-laki dan perempuan, memakai seragam sekolah ini. Yang satu Pak Aldo, Aska yakin itu. Dan di sebelahnya. . . Hati Aska langsung mencelos begitu sadar yang di foto tersebut adalah Greta..ya, Greta yang ngobrol dengannya tadi. Dan sejak malam itu Aska merubah pandangannya tentang arti Hidup. Yang harus dilakukannya sekarang adalah mencari jalan ke Misi hidupnya dan menyelesaikannya.
           
             
            

Jumat, 18 Januari 2013

REUNION


Reunion

                Tik tok tik tok..suara detik jam dinding yang kini meunjukkan pukul 10 malam menemani diamku. Aku sedang berpikir, bukan berpikir karena mempelajari buku yang sekarang aku pegang, tapi berpikir bagaimana lagi aku harus bertahan disini. Ya, di perkuliahan ini..
                Selama ini ak merasa beruntung bisa bertahan, dengan mata kuliah yang sulit bagiku, dengan standar nilai yang tinggi, dengan semua persaingan dan harapan semua orang yang tertumpuk di bahuku. Tapi kali ini aku merasa keberuntungan itu sudah habis, surat dari salah satu dosen yang menuntut agar nilai ujian yang akan berlangsung minggu depan harus bagus, kalau tidak…ak tidak berani menyebutkannya. Sebenarnya aku merasa lelah bertahan seperti ini, tapi aku terpaksa bertahan demi mereka yang berharap padaku, pada masa depanku. Tapi satu yang pasti kurasakan, semangatku telah hilang..aku sudah merasa tidak bisa menghadapi mata kuliah yang satu ini.
                Rrrrr..Rrrrr..Rrrr , tiba-tiba HP ku bergetar membuyarkan semua pikiranku tadi. Ah, dari Ibu, tanpa basa-basi langsung aku angkat panggilan itu.
“halo? Ada apa Buk?”
“Kamu bisa pulang gak besok? Ada yang mau ketemu.”
“ha? Siapa? Minggu depankan udah ujian, jadi harus belajar..” jawabku.
“Udah, sehari aja, lagi minggu tenang kan? Pulang dulu, ini lebih penting.”
“Ya udah, besok aku pulang.”
“Oke, di tunggu dirumah ya besok..Belajar & Doa jangan lupa..”
“Ya..”
                Benar-benar percakapan yang aneh, ibuku yang sudah tahu tentang surat dosen itu menyuruhku pulang saat mendekati ujian seperti ini. Ah, sudahlah..tapi siapa gerangan orang yang harus aku temui besok?
……..
                Kriiiiiiing..Kriiiiiiiiing..Kriiiiiiiing..Ugh, sudah pagi..kusambar jam Waker ku dan kumatikan alarmnya yang menyebalkan. Seperti biasa, tubuhku seperti berjalan otomatis melakukan kegiatan pagi yaitu  mandi, memanaskan motor lalu pergi sarapan. Setelah sarapan, aku ambil tas ranselku dan pergi..ya pulang ke rumah. Perjalanan sekitar 3-4 jam, itu kalau tidak macet. Tapi sepertinya aku beruntung hari ini, jalanan tidak macet dan cuaca cerah.
                 “Aku pulaaaang..” seruku seraya memasuki rumah.
                “Ah, Dira ya? Selamat datang..” sapa seorang wanita yang duduk di kursi tamu. Aku kaget karena tidak melihatnya waktu masuk tadi.
                “Um..” Aku berpikir keras mengingat siapa wanita ini.
                 Melihatku berdiri kebingungan didepannya wanita ini mengangkat barang bawaannya, dua barang, satu di tangan kanannya dan satu di tangan kirinya, berharap dia bisa menjelaskan siapa dirinya dengan kedua barang itu. Dan itu berhasil..
                “Aaana? Alana?? Kamu Alana??”
                “Iya, dia Alana..Tuh kan si Lio ga akan lupa sama kamu Na.” Sahut ibu ku yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tengah.
                “Hahaha, seneng deh masih diingat.” Kata Alana sambil tersenyum.
                “Wah, udah lama banget kita ga ketemu ya. Gimana kabar kamu?” kata ku. Sebenarnya aku masih heran dengan keberadaan teman masa kecilku ini di sini.
                Selama siang itu kami berbicara banyak. Alana bercerita tentang kehidupannya sekarang. Ia menjadi seorang pemain biola. Dari ceritanya, dia sering berpergian ke luar negeri untuk berpartisipasi dalam acara music internasional. Benar-benar luar biasa, mengingat dulu Alana tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada aku disekitarnya saat kami pergi bermain keluar rumah. Yah, bisa dibilang Alana sudah menggapai mimpinya. Aku benar-benar kagum dan bangga.
                “Sekarang jam berapa?” tiba-tiba Alana bertanya.
                “Emm, jam empat. Kenapa?” tanyaku, aku takut dia akan pulang.
                “Anterin aku yuk..”
                “Ha? Kemana?”
                “ke..” dia melanjutkan dengan menggerakkan tangannya, membentuk bentuk bukit, dan aku tau yang dia maksud.
                “hahaha, mau apa kesana?” godaku.
                “Mau lihat pemandangan dong” katanya sambil tersenyum.
                “...” aku tiba-tiba kehabisan kata-kata, begitu mendengar Alana berkata seperti itu.
                “Mau gak? Aku pengen ke sana lagi.”
                “Ya udah ayo..” ak beranjak dan spontan aku gandeng tangan Alana dan berjalan keluar rumah. Itu kebiasaan kami dari dulu.
                Sekitar 10menit perjalanan dengan motor kami sampai di tempat yang ke satu bangunan yang setengah jadi, yang sepertinya tidak diselesaikan dan terbengkalai, tapi ditempat inilah kenangan ku dan Alana bersemayam. Yang aku heran dari dulu sampai sekarang bangunan ini masih ada, Cuma sekarang terlihat lebih rapuh. Kami biasa naik sampai atap bangunan ini. Aku melihat pemandangan bukit di arah matahari terbenam sambil menemani Alana berlatih main biola. Dulu aku menggendong Alana di belakang punggung ku untuk menaiki tangga rumah ini, tapi sekarang cukup dengan menggandengnya.
                “Udah sampai atap ya ini?”
                “Iya,udah sampai..”
                “wah, dulu kamu gendong aku sampai sini pasti berat banget..maap ya udah ngrepotin kamu.”
                “Dulu kamu kan kecil, jadi enteng..gak masalah buat aku, hehe.”
                “Gimana? Masih indah kan pemandangannya?” Tanya Alana sambil meletakkan barang bawaannya, yaitu Hardcase Biola dan. . . tongkat bantu berjalan. Setelah itu ia ambil Biola dari dalam hard casenya dan bersiap untuk memainkannya.
                “Masih kok..bentuk bukitnya juga masih sama dari sini.”
                “denger ya..” kemudian ia memainkan biolanya.
                Suara biola itu terdengar indah sekali, jauh lebih indah dari pada yang dulu..
                “Hebat..gimana sih kamu bisa sehebat itu?” sahutku ketika ia selesai.
                “Ya latihan..”
                “udah gitu doang? Ah, hidup kamu enak ya..kamu hidup sesuai dengan hobi kamu. Gak seperti hidup aku, yang terpaksa mengikuti perintah demi masa depan yang cerah katanya. Aku harus belajar pelajaran yang bener-bener aku gak suka dan aku gak bisa, tapi aku terpaksa harus bisa dan bertahan disana..dan itu bener-benr berat buat aku..”
                Mendengar ak berkata seperti itu, Alana hanya tersenyum.
                “ Kok malah senyum sih Na?”
                “Hahaha, nggak..lucu aja..Lio yang dulu gak gini kali, Lio yang dulu tu penuh semangat loh orangnya.”
                “Semangat aku udah ilang, aku udah capek. Kalo boleh berhenti aku bakal berhenti, tapi aku gak bisa.” Gerutuku.
                “Lio..Kamu pikir jadi aku tu gampang? Dengan kekurangan yg aku punya ini?” Timpal Alana seraya menunjuk ke matanya yang mengalami kebutaan saatt dia masih kecil.
                “Err..” ak tidak bisa berkata apa-apa.
                “Setelah aku pindah rumah dan harus berpisah dengan mu, aku bingung, aku tidak punya teman lagi, merasa tidak bisa lagi pergi keluar rumah. Aku merasa takut dan semangat ku hilang. Tapi selang waktu berlalu aku sadar, aku tidak bisa selamanya menangis dan berharap ada kamu di sisiku setiap waktu. Aku harus bisa, berjuang demi diriku sendiri dan juga orang-orang yang mendukungku selama ini.”
                “Tapi..” ak berusaha berkata.
                “Kamu tau kan? Dulu aku sebenarnya benci biola karena aku tidak bisa memainkannya, tapi kata orang tuaku, aku harus bisa memainkannya supaya ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari diriku ini. Dan mau itdak mau aku harus berlatih, mengikuti les..dan berlatih lagi, di sini bersama dengan mu. Dan aku masih ingat, kamu selalu semangatin aku, kamu selalu bilang ‘kalo Alana sih pasti bisa.!!’.“
                “…” kata-kata Alana menghancurkanku.
                “Sekarang, di tempat ini, aku mau bilang sama Lio..Lio harus harus semangat kuliahnya.! Kalau Lio sih Pasti bisa.!!” Seru Alana sambil menirukan gayaku bicaraku saat kecil.
                “Hahaha, kamu tu..” hanya itu yang bisa ku keluar dari mulutku.. Aku pun memandang kearah bukit yang sekarang menghitam dengan sinar matahari sore dibaliknya. Alana dibelakangku, kembali memainkan Biolanya. Ia mengalunkan music yang seakan menebak isi hatiku. Dan aku pun memulai perenunganku.
                Aku tak tau mengapa, tiba tiba menetes air mata dari mataku. Yang aku tahu pasti, kata-kata Anala tadi menyadarkanku, bahwa ak harus terus berjuang, harus terus semangat, lebih dari semangat saat awal dulu. Harusnya aku malu dengan Alana. Alana yang punya kekurangan, yang sulit beradaptasi, dan harus bergelut dengan keterpaksaan itu bisa berjuang dengan penuh semangat sampai seperti Alana yang sekarang. Harusnya aku juga bisa. Bisa melawan musuh terbesarku, yaitu kata “Tidak Bisa”. Mulai sekarang aku harus berkata “Aku Bisa..Aku pasti Bisa.!!”