Selasa, 22 Januari 2013

Never Give Up


Apakah kau suka memandang langit biru? Sekarang aku sedang memandang langit biru itu. Tapi tidak kusangka memandang langit bisa sesakit ini. Kalau kau mau tau, saat ini aku sedang terbaring di dalam kotak pinalti setelah terkena tackle dari seorang bek lawan. Ouch, sakit sekali kaki ku. Tapi sepertinya tidak cidera.
"Hei, lo ga apa kan? Sorry ye.." Kata pemain yang baru saja menjatuhkanku seraya mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri lagi.
Sisi baiknya adalah tim kami dapat hadiah tendangan pinalti. Tidak sia-sialah rasa sakitku ini. Sepertinya Rey yang akan mengambil tendangan pinalti. Aku juga harus bersiap-siap di belakang garis kotak pinalti jaga-jaga bila ada bola mutah. Kulirik jam di atas papan skor yang terpajang di samping lapangan. Terlihat pemandangan yang tidak enak dipandang di sana, jam menunjukkan bahwa 15 menit lagi pertandingan berakhir, dan kesebelasan kami dalam posisi kalah 3-0. Satu-satunya yang dapat membuatku tersenyum adalah Milana yang berteriak penuh semangat member semangat kami di sana, di sisi lapangan.
Priiit.. terdengar suara peluit yg ditiup wasit. Berbarengan dengan itu Rey menendang bola kea rah kanan gawang dan . . . keeper lawan dengan sigap menepisnya, dan bolapun melambung. Bola mutah.! Aku berlari kearah bola itu tapi tanpa kusadari Sam juga berlari kearah yang sama. Sial sekali, kami malah bertabrakan dan bola jatuh ke kaki bek lawan. Sakitnya sih tidak seberapa, tapi malunya itu lho. Pasti tadi kami terlihat bodoh.
Lanjut!! Lima belas menit terakhir terasa berat sekali, kami diserang habis-habisan. Tidak ada kesempatan menyerang. Hasil akhirpun sudah jelas. . .kami kalah.
Siang itu kami kembali ke sekolah kami dengan membawa kekalahan. Tetapi dari semuanya Rey lah yang terlihat down. Bagaimana tidak, dia menyia-nyiakan satu-satunya kesempatan untuk mencetak gol. Bila aku jadi Rey aku juga bakal mengutuki diriku sendiri. Dan satu-satunya senyum di hari itu adalah senyum Milana, manager tim kami, tapi aku yakin itu bukan senyum karena bahagia, ia hanya mencoba menyemangati kami kembali dengan senyum dan keceriaannya itu. Dan seperti biasa hari untuk tim sepak bola kami ditutup dengan evaluasi dari Kapten kami, Marko.
----------------------
Pagi hari, waktunya aku dan teman-teman tim ku sekolah. Sial, pagi ini aku terlambat. Tapi bukan cuma aku saja, Milana dan Marko juga. Penyebabnya sudah jelas yaitu pertandingan AC Milan vs Barcelona. Bagi fans bola fanatic seperti kami, terutama aku dan Milana yang seorang Milanisti (fans AC Milan) dan Marko yang tergila-gila dengan Barcelona tidak akan melewatkan Big Match seperti itu. Jadi, pagi itu kami awali dengan sarapan pidato panjang lebar dari Pak Satpam, yang bertugas menangani anak-anak yang terlambat. Tapi tidak lama kemudian, datang Kepala Sekolah, Pak Bartoz, ia datang ketika melihat Marko. Dan memang benar beliau datang untuk menemui Marko. Pak Bartoz memanggilnya, berbicara sebentar padanya dan sesaat kemudian ia melihat kea rah ku dan Milana, memanggil kami dan membawa kami ke ruangannya. Ada apa gerangan?
“Mark, bagaimana kabar club sepak bola sekolah kita?” Tanya pak Bartoz membuka pembicaraan.
“Umm, lumayan Pak.” Jawab Marko ragu.
“Hmm, lumayan ya? Tapi menurut data yang saya dapat, club sepak bola adalah club yang tidak dapat menyumbang prestasi selama ini.”
“. . . .” Mark, Milana dan aku tidak dapat berkata apa-apa untuk menyanggah fakta ini.
“Jadi, saya mempertimbangkan untuk membubarkan club sepak bola ini, dan mengalokasikan dana untuk club lain yang lebih berprestasi. Kalian pasti mengerti pentingnya prestasi bagi sekolah kita ini. Dan kalian juga pasti mengerti arti kekalahan bagi nama sekolah kita ini. Saya sebagai Kepala Sekolah tidak akan membiarkan nama Sekolah kita tercoreng karena Club Sepak Bolanya tidak berkualitas.”
“Pak, kami tidak punya pelatih untuk mengajari kami. Seandainya kami diberi pelatih, kami pasti..”
“Dulu Sekolah sudah menggaji pelatih untuk Club sepak bola, tapi hasilnya nihil, jadi tidak ada lagi pelatih untuk kalian.!”
“Uh…” Lagi-lagi kami tidak bisa membalas, karena itu fakta yang benar-benar terjadi.
“Pak, apakah tidak ada cara lain agar Club kami dapat bertahan?” tanya ku.
“Satu-satunya yang saya minta adalah PRESTASI, apakah kalian bisa?” kata Pak Bartoz menantang.
“Err..Sebenarnya kami sedang mengikuti kejuaraan antar SMA Pak..” kata Milana.
“Nah, berarti itu kesempatan terakhir kalian untuk buktikan kualitas kalian. Tidak ada jalan lain, menang atau bubar.!!”
“Baiklah Pak..Kami akan berusaha.” Tutup Marko.
-----------------------
Sepulang sekolah seperti biasa tim sepak bola berkumpul di ruangan club. Setelah semua berkumpul Marko menceritakan apa yang dikatakan Pak Bartoz kepada anggota Tim. Shock, itu sudah pasti. Dan seperti yang aku sudah duga, suasana pesimis menyelimuti kami. Bagaimana mungkin kami bisa memenangkan kejuaraan ini? Sebenarnya kami tidak begitu jelek saat bermain, tapi entah mengapa kami lebih banyak mengalami kekalahan dari pada menang. Dan saat ini bisa dibilang kami termasuk tim Underdog dalam kejuaraan ini.
“Yah, berarti nasib Club Sepak Bola hanya sampai sini nih?” kata Sam menyambut informasi dari Marko.
“Enggak.!! Club Sepak Bola harus tetep ada..dan lagi, aku percaya kok kalo kita bisa menangin kejuaraan kali ini. Kita pasti bisa.!!” Ujar Milana.
“Kamu kan gak ikut main, yang main kan kami, yang ngrasain sulitnya tu kami.!” Balas Sam pesimis.
“Bisaaa.!! Kita harus berusaha.!! Selama ini aku lihat kalian main, kalian main bagus, kita juga punya Marko dan Rey. Iya kan Mark, Rey? ” Teriak Milana.
“Ugh..terserah kalian saja..” kata Rey yang lalu beranjak pergi keluar ruangan. Sepertinya Rey Shock dan emosi. Tentu saja, dia yang merupakan MVP ketika SMP bersama dengan Marko dan bercita-cita menjadi pemain Tim Nasional harus memupuskan harapannya disini.
“Hey Rey tunggu.!!” Teriak Marko seraya menyusul Rey keluar. Setelah itu terdengar suara dari Marko dan Rey. Sepertinya mereka sedang berdebat di luar sana.
Aku dan anggota Tim lainnya tetap di dalam. Keadaan di dalam sangat suram. Milana dan Sam terus saja bertengkar saling menyalahkan. Anggota Tim lain juga saling beradu mulut tentang, beberapa memilih diam dalam kepesimisan seperti aku.
Dalam benakku Cuma ada satu pernyataan. Kalau kita mau tetap ada maka kita harus menang, dan untuk menang kita harus berlatih, berlatih lebih keras. Pilihan lain yang ada hanyalah menyerah. Dan aku tidak mau itu.
“AAAARRRGH.!!” Tidak sadar aku berteriak. Mungkin sudah tidak tahan dengan kesuraman dalam ruangan itu. Aku mengambil sekeranjang bola dari loker dan keluar menuju lapangan. Terlihat dipinggir lapangan Marko dan Rey, dari yang ku dengar Marko sedang mempertahankan Rey agar tidak menyerah dan menelantarkan Club Sepak Bola. Tanpa sadar aku sudah ada di tengah lapangan. Ku keluarkan bola-bola dar keranjang dan mulai menendangnya kearah gawang. Emosiku tersalur di setiap tendangan itu.
“AAAH, AKU BILANG AKU SUDAH TIDAK PEDULI LAGI.!! AKU BOSAN KALAH.!!” Terdengar teriakan Rey. Rupanya ia berteriak kepada Marko. Aku kaget melihatnya. Tapi bukan Cuma aku, seluruh anggota Tim yang ternyata sudah ada di luar melihatnya juga dan terpana.
“Tunggu Rey.!!” Seru Marko seraya menarik pundak Rey yang mulai berjalan membelakanginya. Dan tiba-tiba. . .
Buk.!! Rey melayangkan tinju ke pipi Marko. Seketika itu pula Marko jatuh terduduk, tidak menyangka Rey berbuat sejauh itu. Rey pun mulai berjalan menjauh.
Aku tidak tahan melihat pemandangan itu. Aku mengambil bola dan kutendang mengarah ke tempat Rey. Berharap mengenai Rey dan membuatnya berbalik. Tapi tendangan ku melambung terlalu tinggi dan mendarat jauh di depan Rey. Sekali lagi.! Nyaris kena..Rey berhenti sejenak, dan berjalan lagi. Ugh..Sekali lagi.!! Ku tendang bola kea rah Rey lagi dan kali ini..tepat kena tas Rey. Rey kemudian berbalik badan, diam.
“Rey.!! Segitu takut kah kau?! Ha?! Pengecuuut.!!” Teriakku. Emosiku meluap-luap.
“Ke sini kalau berani.!! LAWAN AKU.!! KUAJARI CARA BERMAIN BOLA.!!!” Aku beteriak seperti orang hilang akal.
Rey hanya terdiam. Tapi sesaat kemudian ia berlari kearahku. Ya dia berlari ke tengah lapangan, dia menerima tantanganku. Dia melemparkan tasnya dan mengambil bola kemudian menggiringnya kearahku. Aku bersiap menyambutnya. Menahan laju giringan Rey agar tidak bisa melewatiku dan menggiring bola sampai ke Gawang di belakangku. Selama beberapa menit aku dan Rey saling serang, saling rebut. Dan tau apa yang ku rasakan? Semangat itu muncul lagi. Ya, Cuma di tengah lapangan, bermain sepak bola yang dapat membuat kami bahagia, dapat membuat kami merasakan panasnya semangat. Aku yakin Rey juga merasakan hal yang sama. Samar-samar aku melihat senyum Rey saat menggocek bola.
“HEY.!!” Tiba-tiba Marko berteriak kepada kami dar sisi lapangan. Dan di belakangnya ada teman-teman Tim sepak bola.
“Kalian melupakan kami? Kami juga mau latihan..kami juga mau memenangkan kejuaraan.!” Kata Marko.
Kemudian mereka masuk kedalam lapangan mengelilingi aku dan Rey. Marko merangkulku dan tersenyum menatap Rey. Rey menunduk terdiam, tidak dapat menatap mata Marko.
“Rey..”
“Diam..atau ku pukul lagi kau, Mark. Aku tau..aku salah..tidak seharusnya aku menyerah begitu saja, ma..maaf..” Rey yang angkuh itu mulai terisak.
“Ayo kita latihan..untuk menang.” Kata Marko sambil menepuk pundak Rey.
“YAK, AYO KITA MULAI LATIHAN.!!” Teriak Marko mengomando seluruh Anggota Tim.
“YOSH.!!” Seru 15 orang anggota Tim Sepak bola menjawab panggilan sang Kapten.
Sore itu menjadi awal latihan yang berat. Dalam satu minggu Tim Sepak Bola ini harus bisa jadi lebih kuat agar bisa meraih juara. Tapi satu yang pasti, kami melewati tiap latihan yang berat dengan penuh semangat dan antusiasme.
-----------------------
Usaha keras tidak akan mengkhianati. Ya, itu betul. Tim Sepak Bola Kami berhasil menunjukkan kekuatan kami yang sesungguhnaya dan menyabet juara tiga. Pada awalnya kami mengira kalau Club akan dibubarkan karena tidak bisa juara pertama. tapi diluar dugaan Kepala Sekolah bilang "Juara 3 itu juga prestasi"  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar