Apakah kau
suka memandang langit biru? Sekarang aku sedang memandang langit biru itu. Tapi
tidak kusangka memandang langit bisa sesakit ini. Kalau kau mau tau, saat ini
aku sedang terbaring di dalam kotak pinalti setelah terkena tackle dari seorang
bek lawan. Ouch, sakit sekali kaki ku. Tapi sepertinya tidak cidera.
"Hei,
lo ga apa kan? Sorry ye.." Kata pemain yang baru saja menjatuhkanku seraya
mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri lagi.
Sisi baiknya
adalah tim kami dapat hadiah tendangan pinalti. Tidak sia-sialah rasa sakitku
ini. Sepertinya Rey yang akan mengambil tendangan pinalti. Aku juga harus
bersiap-siap di belakang garis kotak pinalti jaga-jaga bila ada bola mutah. Kulirik
jam di atas papan skor yang terpajang di samping lapangan. Terlihat pemandangan
yang tidak enak dipandang di sana, jam menunjukkan bahwa 15 menit lagi
pertandingan berakhir, dan kesebelasan kami dalam posisi kalah 3-0. Satu-satunya
yang dapat membuatku tersenyum adalah Milana yang berteriak penuh semangat member
semangat kami di sana, di sisi lapangan.
Priiit.. terdengar suara peluit yg ditiup wasit. Berbarengan dengan
itu Rey menendang bola kea rah kanan gawang dan . . . keeper lawan dengan sigap
menepisnya, dan bolapun melambung. Bola mutah.! Aku berlari kearah bola itu
tapi tanpa kusadari Sam juga berlari kearah yang sama. Sial sekali, kami malah
bertabrakan dan bola jatuh ke kaki bek lawan. Sakitnya sih tidak seberapa, tapi
malunya itu lho. Pasti tadi kami terlihat bodoh.
Lanjut!!
Lima belas menit terakhir terasa berat sekali, kami diserang habis-habisan. Tidak
ada kesempatan menyerang. Hasil akhirpun sudah jelas. . .kami kalah.
Siang itu
kami kembali ke sekolah kami dengan membawa kekalahan. Tetapi dari semuanya Rey
lah yang terlihat down. Bagaimana tidak,
dia menyia-nyiakan satu-satunya kesempatan untuk mencetak gol. Bila aku jadi
Rey aku juga bakal mengutuki diriku sendiri. Dan satu-satunya senyum di hari
itu adalah senyum Milana, manager tim kami, tapi aku yakin itu bukan senyum
karena bahagia, ia hanya mencoba menyemangati kami kembali dengan senyum dan
keceriaannya itu. Dan seperti biasa hari untuk tim sepak bola kami ditutup
dengan evaluasi dari Kapten kami, Marko.
----------------------
Pagi hari,
waktunya aku dan teman-teman tim ku sekolah. Sial, pagi ini aku terlambat. Tapi
bukan cuma aku saja, Milana dan Marko juga. Penyebabnya sudah jelas yaitu
pertandingan AC Milan vs Barcelona. Bagi fans bola fanatic seperti kami,
terutama aku dan Milana yang seorang Milanisti (fans AC Milan) dan Marko yang
tergila-gila dengan Barcelona tidak akan melewatkan Big Match seperti itu.
Jadi, pagi itu kami awali dengan sarapan pidato panjang lebar dari Pak Satpam,
yang bertugas menangani anak-anak yang terlambat. Tapi tidak lama kemudian,
datang Kepala Sekolah, Pak Bartoz, ia datang ketika melihat Marko. Dan memang
benar beliau datang untuk menemui Marko. Pak Bartoz memanggilnya, berbicara
sebentar padanya dan sesaat kemudian ia melihat kea rah ku dan Milana, memanggil
kami dan membawa kami ke ruangannya. Ada apa gerangan?
“Mark,
bagaimana kabar club sepak bola sekolah kita?” Tanya pak Bartoz membuka
pembicaraan.
“Umm,
lumayan Pak.” Jawab Marko ragu.
“Hmm,
lumayan ya? Tapi menurut data yang saya dapat, club sepak bola adalah club yang
tidak dapat menyumbang prestasi selama ini.”
“. . . .”
Mark, Milana dan aku tidak dapat berkata apa-apa untuk menyanggah fakta ini.
“Jadi, saya
mempertimbangkan untuk membubarkan club sepak bola ini, dan mengalokasikan dana
untuk club lain yang lebih berprestasi. Kalian pasti mengerti pentingnya
prestasi bagi sekolah kita ini. Dan kalian juga pasti mengerti arti kekalahan
bagi nama sekolah kita ini. Saya sebagai Kepala Sekolah tidak akan membiarkan
nama Sekolah kita tercoreng karena Club Sepak Bolanya tidak berkualitas.”
“Pak, kami
tidak punya pelatih untuk mengajari kami. Seandainya kami diberi pelatih, kami
pasti..”
“Dulu
Sekolah sudah menggaji pelatih untuk Club sepak bola, tapi hasilnya nihil, jadi
tidak ada lagi pelatih untuk kalian.!”
“Uh…”
Lagi-lagi kami tidak bisa membalas, karena itu fakta yang benar-benar terjadi.
“Pak, apakah
tidak ada cara lain agar Club kami dapat bertahan?” tanya ku.
“Satu-satunya
yang saya minta adalah PRESTASI, apakah kalian bisa?” kata Pak Bartoz
menantang.
“Err..Sebenarnya
kami sedang mengikuti kejuaraan antar SMA Pak..” kata Milana.
“Nah,
berarti itu kesempatan terakhir kalian untuk buktikan kualitas kalian. Tidak ada
jalan lain, menang atau bubar.!!”
“Baiklah
Pak..Kami akan berusaha.” Tutup Marko.
-----------------------
Sepulang
sekolah seperti biasa tim sepak bola berkumpul di ruangan club. Setelah semua
berkumpul Marko menceritakan apa yang dikatakan Pak Bartoz kepada anggota Tim.
Shock, itu sudah pasti. Dan seperti yang aku sudah duga, suasana pesimis
menyelimuti kami. Bagaimana mungkin kami bisa memenangkan kejuaraan ini?
Sebenarnya kami tidak begitu jelek saat bermain, tapi entah mengapa kami lebih
banyak mengalami kekalahan dari pada menang. Dan saat ini bisa dibilang kami
termasuk tim Underdog dalam kejuaraan ini.
“Yah,
berarti nasib Club Sepak Bola hanya sampai sini nih?” kata Sam menyambut
informasi dari Marko.
“Enggak.!!
Club Sepak Bola harus tetep ada..dan lagi, aku percaya kok kalo kita bisa
menangin kejuaraan kali ini. Kita pasti bisa.!!” Ujar Milana.
“Kamu kan
gak ikut main, yang main kan kami, yang ngrasain sulitnya tu kami.!” Balas Sam
pesimis.
“Bisaaa.!! Kita
harus berusaha.!! Selama ini aku lihat kalian main, kalian main bagus, kita
juga punya Marko dan Rey. Iya kan Mark, Rey? ” Teriak Milana.
“Ugh..terserah
kalian saja..” kata Rey yang lalu beranjak pergi keluar ruangan. Sepertinya Rey
Shock dan emosi. Tentu saja, dia yang merupakan MVP ketika SMP bersama dengan
Marko dan bercita-cita menjadi pemain Tim Nasional harus memupuskan harapannya
disini.
“Hey Rey tunggu.!!”
Teriak Marko seraya menyusul Rey keluar. Setelah itu terdengar suara dari Marko
dan Rey. Sepertinya mereka sedang berdebat di luar sana.
Aku dan
anggota Tim lainnya tetap di dalam. Keadaan di dalam sangat suram. Milana dan
Sam terus saja bertengkar saling menyalahkan. Anggota Tim lain juga saling
beradu mulut tentang, beberapa memilih diam dalam kepesimisan seperti aku.
Dalam
benakku Cuma ada satu pernyataan. Kalau kita mau tetap ada maka kita harus
menang, dan untuk menang kita harus berlatih, berlatih lebih keras. Pilihan
lain yang ada hanyalah menyerah. Dan aku tidak mau itu.
“AAAARRRGH.!!”
Tidak sadar aku berteriak. Mungkin sudah tidak tahan dengan kesuraman dalam
ruangan itu. Aku mengambil sekeranjang bola dari loker dan keluar menuju
lapangan. Terlihat dipinggir lapangan Marko dan Rey, dari yang ku dengar Marko
sedang mempertahankan Rey agar tidak menyerah dan menelantarkan Club Sepak
Bola. Tanpa sadar aku sudah ada di tengah lapangan. Ku keluarkan bola-bola dar
keranjang dan mulai menendangnya kearah gawang. Emosiku tersalur di setiap
tendangan itu.
“AAAH, AKU
BILANG AKU SUDAH TIDAK PEDULI LAGI.!! AKU BOSAN KALAH.!!” Terdengar teriakan Rey. Rupanya ia
berteriak kepada Marko. Aku kaget melihatnya. Tapi bukan Cuma aku, seluruh
anggota Tim yang ternyata sudah ada di luar melihatnya juga dan terpana.
“Tunggu
Rey.!!” Seru Marko seraya menarik pundak Rey yang mulai berjalan
membelakanginya. Dan tiba-tiba. . .
Buk.!! Rey melayangkan tinju ke pipi Marko. Seketika itu pula Marko
jatuh terduduk, tidak menyangka Rey berbuat sejauh itu. Rey pun mulai berjalan
menjauh.
Aku tidak
tahan melihat pemandangan itu. Aku mengambil bola dan kutendang mengarah ke
tempat Rey. Berharap mengenai Rey dan membuatnya berbalik. Tapi tendangan ku
melambung terlalu tinggi dan mendarat jauh di depan Rey. Sekali lagi.! Nyaris
kena..Rey berhenti sejenak, dan berjalan lagi. Ugh..Sekali lagi.!! Ku tendang
bola kea rah Rey lagi dan kali ini..tepat kena tas Rey. Rey kemudian berbalik
badan, diam.
“Rey.!!
Segitu takut kah kau?! Ha?! Pengecuuut.!!” Teriakku. Emosiku meluap-luap.
“Ke sini
kalau berani.!! LAWAN AKU.!! KUAJARI CARA BERMAIN BOLA.!!!” Aku beteriak
seperti orang hilang akal.
Rey hanya
terdiam. Tapi sesaat kemudian ia berlari kearahku. Ya dia berlari ke tengah
lapangan, dia menerima tantanganku. Dia melemparkan tasnya dan mengambil bola
kemudian menggiringnya kearahku. Aku bersiap menyambutnya. Menahan laju
giringan Rey agar tidak bisa melewatiku dan menggiring bola sampai ke Gawang di
belakangku. Selama beberapa menit aku dan Rey saling serang, saling rebut. Dan
tau apa yang ku rasakan? Semangat itu muncul lagi. Ya, Cuma di tengah lapangan,
bermain sepak bola yang dapat membuat kami bahagia, dapat membuat kami
merasakan panasnya semangat. Aku yakin Rey juga merasakan hal yang sama.
Samar-samar aku melihat senyum Rey saat menggocek bola.
“HEY.!!” Tiba-tiba
Marko berteriak kepada kami dar sisi lapangan. Dan di belakangnya ada
teman-teman Tim sepak bola.
“Kalian
melupakan kami? Kami juga mau latihan..kami juga mau memenangkan kejuaraan.!” Kata
Marko.
Kemudian
mereka masuk kedalam lapangan mengelilingi aku dan Rey. Marko merangkulku dan tersenyum
menatap Rey. Rey menunduk terdiam, tidak dapat menatap mata Marko.
“Rey..”
“Diam..atau
ku pukul lagi kau, Mark. Aku tau..aku salah..tidak seharusnya aku menyerah
begitu saja, ma..maaf..” Rey yang angkuh itu mulai terisak.
“Ayo kita
latihan..untuk menang.” Kata Marko sambil menepuk pundak Rey.
“YAK, AYO
KITA MULAI LATIHAN.!!” Teriak Marko mengomando seluruh Anggota Tim.
“YOSH.!!”
Seru 15 orang anggota Tim Sepak bola menjawab panggilan sang Kapten.
Sore itu
menjadi awal latihan yang berat. Dalam satu minggu Tim Sepak Bola ini harus
bisa jadi lebih kuat agar bisa meraih juara. Tapi satu yang pasti, kami
melewati tiap latihan yang berat dengan penuh semangat dan antusiasme.
-----------------------
Usaha keras
tidak akan mengkhianati. Ya, itu betul. Tim Sepak Bola Kami berhasil menunjukkan kekuatan kami yang sesungguhnaya dan menyabet juara tiga. Pada awalnya kami mengira kalau Club akan dibubarkan karena tidak bisa juara pertama. tapi diluar dugaan Kepala Sekolah bilang "Juara 3 itu juga prestasi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar