"huuufft" Sarah menghela nafas sambil melihat tumpukan selusin kue cubit dalam kotak bening yang ada di tangannya. Masih menyesali kenapa ia beli sebanyak itu. Walaupun sebenarnya ia bisa saja menghabiskannya sendiri, tapi bukan itu tujuannya beli kue cubit itu. Sarah kemudian menghela nafas lagi, menatap langit sore yang kelamaan berubah warna menjadi warna Es Jeruk dingin kesukaannya. Menatap langit sore yang indah sambil mengunyah kue cubit berharap rasa jengkelnya berkurang.
Terbukti ampuh, seiring rasa haus yang mulai datang sehabis makan kue cubit, jengkel itu mulai hilang. Senja memang selalu ampuh mendatangkan senyum di muka Sarah.
*Cessss*
"AW.!! Ngapain seeeh.!! Kaget tauk.!!" Sarah kaget tiba-tiba kaleng es kopi dingin menempel di pipinya.
"Hahahaha..lagian nglamun gitu, hahaha" Ade tertawa melihat reaksi Sarah. Tertawa sambil menahan gempuran pukulan tangan Sarah yang mengarah ke lengannya.
"Nih Es Kopi. Aus kan lo abis karaoke terus makan kue cubit."
"Kenapa Es Kopi deh? gak seger."
"Gak suka?"
"Iya."
"Beneran gak suka?"
"Iyaaa."
"Hmm..ya udah sini balikin." Tangan Ade menggoda hendak meraih kaleng di tangan Sarah.
"Gak maooo.!! aus tau." Sarah menangkisnya dengan sikunya, melindungi es kopi dan kue cubit di tangan kanan dan kirinya.
Sarah meneguk Es Kopi, menghela nafas, dan menatap jauh ke garis cakrawala tempat sang matahari terbenam. Ia menoleh ke samping, sekilas melihat Ade yang kini terpaku indahnya mentari senja. Sarah tersenyum, dan kembali melihat mentari yang perlahan menghilang.
Di sampingnya, Ade mengeluarkan gitar akustiknya dari softcase gitar yang sedari tadi tersampir di pundaknya. Menghadap anggunnya mentari sore Ade memainkan gitarnya. Jari-jari tangannya lincah memetik senar-senar gitar, menciptakan kolaborasi indah antara melodi yang mengalun dan hangatnya mentari sore itu. Ia melantunkan lirik-lirik tentang seseorang. Menurut Sarah itu lagu yang bagus, walaupun ia tahu lagu itu Ade nyanyikan untuk seseorang yang lain.
Bersamaan dengan tegukan kopi berikutnya, terbayang di benak Sarah tentang potongan-potongan kecil memori tentang seorang laki-laki di sampingnya. Laki-laki yang cuek, tidak paham apa yang Sarah inginkan. Tak jarang membuat Sarah jengkel dan melontarkan kata-kata yang menyakitinya. Membuat diam singah di antara mereka. Tetapi tak akan bertahan lama, Ade selalu datang lagi, mencairkan diam dan menghangatkan kembali sisi Sarah. Sahabat yang baik. Sangat baik.
Namun sore itu, di hadapan sang mentari yang mulai lenyap, Hati kecil Sarah menyerah, dan akhirnya mengakui. Mengakui sesuatu yang selama ini ingin disangkalnya, takut menjadi nyata.
"Ya, aku selalu suka walau mungkin kau tak sadari itu. Di dalam hatiku yang ada hanya dirimu." Bisik Sarah dalam hatinya. Menoleh, memandang wajah Ade yang sedang menikmati berkas cahaya terakhir sang matahari sore itu.
Note:
Coba-coba buat cerita dari lagunya @sarahanjanip
Yang Kusuka Bukan Kopi, Tapi Kamu - By Sarah Anjani P.
https://soundcloud.com/ayaanjani/yang-kusuka-bukan-kopitapi-kamu
Hope you like it. :)
Minggu, 16 Agustus 2015
Rabu, 24 Juni 2015
Under the Blanket
Aku masih tidak percaya apa yang sore tadi telah terjadi. Aku tahu belakangan ini kta tidak akur, tapi aku sama sekali tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Aku tidak menyangka akan berakhir. Kita berakhir.
Saat seperti ini aku benci pada diriku sendiri. Saat seperti ini seorang aku hanya bisa mendekam seorang diri di dalam gelap kamar, bersembunyi di bawah selimut. Bersembunyi dari dunia, dari kenyataan, enggan memperlihatkan sisi terlemah diriku.
Jariku dengan bodohnya men-swipe layar smartphone ku, membuka gallery foto, memperlihatkan kenangan dan kisah yang selama ini terjalin dengan indah dan jauh dari kata pisah. Kata kita yang menjadi penghias tiap hari-hari hidup ku. Kebersamaan yang akan membuat semua pasangan di dunia iri melihatnya. Tapi semua itu telah berakhir tadi sore, saat kau ungkapkan bahwa tak ada lagi kita, bahwa ini adalah akhir cerita.
Air mata terus mengalir, aku tak tahu cara menghentikannya. Yang aku tahu adalah alasan kenapa Air mata ini tetap mengalir malam ini. Alasannya adalah aku masih mencintaimu, aku tidak siap kehilangan mu. Jariku tidak mampu menekan tombol "Delete" untuk semua enangan dalam ponselku. Ini yang aku takutkan, memori tentangmu yang akan selamanya tinggal dan menghantui benakku, meanggil air mata ku mengalir lagi.
Lebih dari itu, ada hal yang lebih lagi aku takutkan. Saat aku menderita karena tidak tahu bagaimana menghilangkan kenangan tentang mu, kau di sana tidak meninggalkan bekas seorang aku dalam hatimu. Melupakanku begitu saja.
#FF2in1
I'm the One
"Dan..gw barusan putus."
"Serius lo Sar? Terus lo lagi di mana sekarang?"
"Gw lagi di Kamar."
"Mau gw telpon? ato gw perlu ke rumah lo??"
"Telpon aja."
"Oke..gw beli pulsa dulu. Lo masih punya Coklat kan? Makan itu dulu."
"Cepet."
"Ok2."
Chatting tak terduga dari teman ku. Sari. Tak ku sangka dia akan putus dengan pacarnya. Walaupun aku tau akhir-akhir ini dia sedang bertengkar dengan pacarnya. tapi tak ku sangka dia putus. benar-benar putus. Pasti sekarang dia sedang menangis di kamarnya.
Aku segera berlari ke warung depan rumah untuk membeli pulsa, semoga 50ribu cukup, tapi aku tidak yakin. Selalu jauh dari kata bosan saat aku ngobrol berdua dengannya, kadang ngobrol hingga larut, sampai pulsa habis atau battre habis duluan.
Tapi saat ini satu hal yang membuatku bingung, kenapa aku tidak sedih ketika tahu Sari putus? Sebagai sahabatnya seharusnya aku sedih, berempati, ikut merasakan kesedihannya. Aneh, yang sekarang aku rasakan adalah lega dia putus. Tak lagi bersama lelaki yang aku tidak yakin dia bisa buat Sari bahagia. Sebagai sahabatnya, sahabat yang sangat dekat dengannya aku tak akan membiarkan ia jatuh ketangan laki-laki yang tidak bisa buat dia bahagia.
Aku tidak yakin ada lelaki yang bisa buat dia bahagia, karena itu aku yang akan buat dia bahagia. Tetapi waktu itu Sari lebih memilih orang lain. Bukan salah Sari memilih dia, karena aku yang tak bernyali menyatakan maksudku membahagiakannya. Ya, aku tidak yakin waktu itu. Tapi kini, setelah merasakan sakitnya melihat dia dengan orang lain dan dikecewakan, aku akan memeranikan diriku. Aku akan membahagiakannya, aku akan mengatakannya. Tapi saat ini yang terpenting adalah mamunguti serpihan-serpihan hatinya yang berserakan, menatanya, memperbaikinya, agar siap tuk ku miliki.
#FF2in1
"Serius lo Sar? Terus lo lagi di mana sekarang?"
"Gw lagi di Kamar."
"Mau gw telpon? ato gw perlu ke rumah lo??"
"Telpon aja."
"Oke..gw beli pulsa dulu. Lo masih punya Coklat kan? Makan itu dulu."
"Cepet."
"Ok2."
Chatting tak terduga dari teman ku. Sari. Tak ku sangka dia akan putus dengan pacarnya. Walaupun aku tau akhir-akhir ini dia sedang bertengkar dengan pacarnya. tapi tak ku sangka dia putus. benar-benar putus. Pasti sekarang dia sedang menangis di kamarnya.
Aku segera berlari ke warung depan rumah untuk membeli pulsa, semoga 50ribu cukup, tapi aku tidak yakin. Selalu jauh dari kata bosan saat aku ngobrol berdua dengannya, kadang ngobrol hingga larut, sampai pulsa habis atau battre habis duluan.
Tapi saat ini satu hal yang membuatku bingung, kenapa aku tidak sedih ketika tahu Sari putus? Sebagai sahabatnya seharusnya aku sedih, berempati, ikut merasakan kesedihannya. Aneh, yang sekarang aku rasakan adalah lega dia putus. Tak lagi bersama lelaki yang aku tidak yakin dia bisa buat Sari bahagia. Sebagai sahabatnya, sahabat yang sangat dekat dengannya aku tak akan membiarkan ia jatuh ketangan laki-laki yang tidak bisa buat dia bahagia.
Aku tidak yakin ada lelaki yang bisa buat dia bahagia, karena itu aku yang akan buat dia bahagia. Tetapi waktu itu Sari lebih memilih orang lain. Bukan salah Sari memilih dia, karena aku yang tak bernyali menyatakan maksudku membahagiakannya. Ya, aku tidak yakin waktu itu. Tapi kini, setelah merasakan sakitnya melihat dia dengan orang lain dan dikecewakan, aku akan memeranikan diriku. Aku akan membahagiakannya, aku akan mengatakannya. Tapi saat ini yang terpenting adalah mamunguti serpihan-serpihan hatinya yang berserakan, menatanya, memperbaikinya, agar siap tuk ku miliki.
#FF2in1
Rabu, 04 Maret 2015
Why Laura?
Wayne duduk terdiam di pinggir jalan gang kecil kota London di malam hari yang sunyi. Headset terpasang di telinganya. Gregory Porter menyanyikan lagu "Water Under Bridges" dengan volume full dari mp3 player yang ada di kantongnya. Air mata menghiasi pipi Wayne. Air mata, dari hangat sampai hampir membeku di udara dingin kota London.
Tiap lirik yang terlantun di telinga Wayne makin memaksa ingatan Wayne untuk memutar kembali kenagan-kenangan ketika Laura ada di sisinya. Canda tawa yang mereka lewati bersama, tangis sedih yang mereka bagi, kopi pahit yang selalu terasa manis di pagi hari, hingga pelukan erat saat sebelum mereka berpisah. Semua itu terasa begitu indah namun juga begitu menyakitkan. Menyakitkan, karena ia masih tidak menerima fakta ia telah berpisah dengan Laura. Ya, perpisahan itu terlalu menyakitkan. Sampai titik ini, tangisnya telah pecah, isaknya manggaung terpantul tidak sempurna di dinding-dinging rumah sekitar gang.
"Kenapa? Kenapa aku tak bisa bahagia? Kenapa Laura? Setelah semua yang ku lakukan ini, kenapa aku tidak bisa bahagia?" Kata di sela isak tangisnya yang semakin tak terkendali.
"Ku pikir aku akan merasa bahagia setelah kulakukan ini? Tapi..tapi..aku tetap kesepian. Kenapa Lauraaa.!!" Tangis Wayne histeris.
Salju turun makin lebat tetapi Wayne masih duduk di sana, di pinggir jalan gang kecil kota London, dengan pistol di tangan kanan nya, mayat laki-laki yang Wayne tahu telah membunuh Laura, dan sinar dari sirine Polisi di depan gang yang kini menyinari wajahnya.
Tiap lirik yang terlantun di telinga Wayne makin memaksa ingatan Wayne untuk memutar kembali kenagan-kenangan ketika Laura ada di sisinya. Canda tawa yang mereka lewati bersama, tangis sedih yang mereka bagi, kopi pahit yang selalu terasa manis di pagi hari, hingga pelukan erat saat sebelum mereka berpisah. Semua itu terasa begitu indah namun juga begitu menyakitkan. Menyakitkan, karena ia masih tidak menerima fakta ia telah berpisah dengan Laura. Ya, perpisahan itu terlalu menyakitkan. Sampai titik ini, tangisnya telah pecah, isaknya manggaung terpantul tidak sempurna di dinding-dinging rumah sekitar gang.
"Kenapa? Kenapa aku tak bisa bahagia? Kenapa Laura? Setelah semua yang ku lakukan ini, kenapa aku tidak bisa bahagia?" Kata di sela isak tangisnya yang semakin tak terkendali.
"Ku pikir aku akan merasa bahagia setelah kulakukan ini? Tapi..tapi..aku tetap kesepian. Kenapa Lauraaa.!!" Tangis Wayne histeris.
Salju turun makin lebat tetapi Wayne masih duduk di sana, di pinggir jalan gang kecil kota London, dengan pistol di tangan kanan nya, mayat laki-laki yang Wayne tahu telah membunuh Laura, dan sinar dari sirine Polisi di depan gang yang kini menyinari wajahnya.
Bukan
Bunga mawar merah terletak di depan kamar ku. Entah sudah bunga mawar merah keberapa. Indah, tapi selalu sama, berakhir di tong sampah. Dari jengkel sampai bosan, aku pungut bunga mawar merah itu dan membuangnya ke tong sampah.
Bukan aku tidak suka bunga mawar, hanya aku tidak suka akan maksud kedatangannya. Bunga mawar itu ia kirimkan tiap hari. Datang beserta dengan surat-surat ucapan yang tak perlu lagi aku baca isinya. Dari jengkel sampai bosan, aku melihat kata-kata yang sama. lelah sudah tangan ini merobek kertas yang menjengkelkan itu.
Apakah dia tak sadar? Bukan mawar merah ini yang aku mau, bukan semua kata-kata manis yang memuakkan itu juga. Bahkan semua digit yang dia kirimkan ke rekeingku itu, aku tidak membutuhkannya.
Aku sudah putus asa, menunggu dia sadar bahwa anaknya tak butuh itu semua,dia hanya butuh pengertiannya, hanya butuh kerendahan hatinya untuk datang, menemuinya.
Rabu, 18 Februari 2015
Menunggu
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.
Menunggu
Aku melihat orang-orang mengerumuninya. Gusar dan panik. Motor yang tadi terpelanting menindih pengendaranya. Rico berdiri kembali, menghampirinya. Menelantarkan motor nya yang beberapa menit lalu terserempet pengendara gila.
Ambulan datang tidak lama kemudian, dia segera dilarikan ke UGD. Rico dan aku duduk di sebelahnya di dalam ambulan. Cemas. Dia pingsan, luka berantakan di beberapa bagian tubuhnya, darah mengalir cukup mencemaskan. Untung helm menyelamatkan parasnya yang manis itu. Iya, parasnya manis, sampai cinta ku jatuh di pandangan pertama hingga kini.
Dokter dan perawat berlarian semenjak dia mendarat di kasur ruang UGD. Apakah parah? aku tidak tahu. aku hanya bergeming di sebelahnya. Rico sibuk menghubungi keluarganya. Aku bersyukur ada Rico di sisi nya saat ini, maksudku aku bersyukur dia memilih Rico sebagai pacarnya, Rico dapat diandalkan. Cemburu? ya aku cemburu. tapi aku bisa apa?
Setelah dua jam berlalu dokter menghampiri Rico dan ayah-ibunya yang sudah datang. Aku ikut bergabung d sana untuk mendengarkan. Cemas. Sangat Cemas.
"Anak ibu baik-baik saja, tadi sempat kritis tapi sekarang sudah baik-baik saja, anak ibu kuat." kata dokter.
Senyum terkembang di wajah mereka. Wajah Rico, wajah orang tuanya. Namun tidak denganku. Ini berarti aku harus menunggu lagi. Tapi tidak apa-apa, aku akan menunggunya walau 1000 tahun lamanya. Menunggunya untuk dia bisa bersamaku di dunia ini.
Menunggu
Aku melihat orang-orang mengerumuninya. Gusar dan panik. Motor yang tadi terpelanting menindih pengendaranya. Rico berdiri kembali, menghampirinya. Menelantarkan motor nya yang beberapa menit lalu terserempet pengendara gila.
Ambulan datang tidak lama kemudian, dia segera dilarikan ke UGD. Rico dan aku duduk di sebelahnya di dalam ambulan. Cemas. Dia pingsan, luka berantakan di beberapa bagian tubuhnya, darah mengalir cukup mencemaskan. Untung helm menyelamatkan parasnya yang manis itu. Iya, parasnya manis, sampai cinta ku jatuh di pandangan pertama hingga kini.
Dokter dan perawat berlarian semenjak dia mendarat di kasur ruang UGD. Apakah parah? aku tidak tahu. aku hanya bergeming di sebelahnya. Rico sibuk menghubungi keluarganya. Aku bersyukur ada Rico di sisi nya saat ini, maksudku aku bersyukur dia memilih Rico sebagai pacarnya, Rico dapat diandalkan. Cemburu? ya aku cemburu. tapi aku bisa apa?
Setelah dua jam berlalu dokter menghampiri Rico dan ayah-ibunya yang sudah datang. Aku ikut bergabung d sana untuk mendengarkan. Cemas. Sangat Cemas.
"Anak ibu baik-baik saja, tadi sempat kritis tapi sekarang sudah baik-baik saja, anak ibu kuat." kata dokter.
Senyum terkembang di wajah mereka. Wajah Rico, wajah orang tuanya. Namun tidak denganku. Ini berarti aku harus menunggu lagi. Tapi tidak apa-apa, aku akan menunggunya walau 1000 tahun lamanya. Menunggunya untuk dia bisa bersamaku di dunia ini.
Selasa, 17 Februari 2015
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program
Raja memejamkan mata, kedua tangannya mencengkram erat sebuah bola basket. Mencoba fokus, sekuat tenaga mencoba menenangkan degub jantungnya yang sedari tadi makin terpompa cepat.
"Hei Champ, kamu pasti bisa, kamu sudah sampai sejauh ini, tinggal satu langkah lagi kamu bisa angkat piala itu." suara lembut wanita terdengar berbisik di telinga Raja. Belaian lembut di pundak nya tiba-tiba menciptakan kehangatan yang menjalar, membuat Raja sedikit tenang.
"Makasih. Kalau aku nanti berhasil bawa piala itu, akan aku persembahkan piala itu buat kamu." Kata Raja. Tersenyum, tangan nya menyambut belai tangan wanita di pundaknya.
"Hahaha, kalau? Aku yakin kamu bisa bawa pulang piala itu."
"Hahaha, i'll do my best." kata Raja seraya memutar roda dari kursi rodanya menuju tengah lapangan basket.
Simulasi Kompetisi Menulis
I'll Do My Best
"Hei Champ, kamu pasti bisa, kamu sudah sampai sejauh ini, tinggal satu langkah lagi kamu bisa angkat piala itu." suara lembut wanita terdengar berbisik di telinga Raja. Belaian lembut di pundak nya tiba-tiba menciptakan kehangatan yang menjalar, membuat Raja sedikit tenang.
"Makasih. Kalau aku nanti berhasil bawa piala itu, akan aku persembahkan piala itu buat kamu." Kata Raja. Tersenyum, tangan nya menyambut belai tangan wanita di pundaknya.
"Hahaha, kalau? Aku yakin kamu bisa bawa pulang piala itu."
"Hahaha, i'll do my best." kata Raja seraya memutar roda dari kursi rodanya menuju tengah lapangan basket.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program
Simulasi Kompetisi Menulis
Setia
"Rona..mau kah kamu jadi pacarku?" kata seorang laki-laki berlutut di hadapan Rona dengan sekuntum bunga mawar merah di tangannya yang terjulur mantap untuk Rona.
". . . maaf. Aku gak bisa." balas Rona seraya menarik tangan sahabatnya itu agar ia berdiri menyudahi aksi romantisnya.
"Rona..aku serius. Aku sayang sama kamu. Lupakan dia. Dia udah gak ada."
"A..aku gak tau kamu ngomong apa. Aku sayang dia, dan dia selalu ada."
Sosok laki-laki di samping Rona tersenyum, terharu melihat Cinta kekasihnya yang masih setia dan ada untuknya. Tak luntur walau mereka sudah beda dunia.
Setia
"Rona..mau kah kamu jadi pacarku?" kata seorang laki-laki berlutut di hadapan Rona dengan sekuntum bunga mawar merah di tangannya yang terjulur mantap untuk Rona.
". . . maaf. Aku gak bisa." balas Rona seraya menarik tangan sahabatnya itu agar ia berdiri menyudahi aksi romantisnya.
"Rona..aku serius. Aku sayang sama kamu. Lupakan dia. Dia udah gak ada."
"A..aku gak tau kamu ngomong apa. Aku sayang dia, dan dia selalu ada."
Sosok laki-laki di samping Rona tersenyum, terharu melihat Cinta kekasihnya yang masih setia dan ada untuknya. Tak luntur walau mereka sudah beda dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)